Sunday, 29 June 2014

Karena tidak ada catatan, aku tidak tahu persis sejak kapan keluargaku mulai menetap di Isaq.
Bagi kami orang Isaq dan juga orang Gayo yang tinggal di tempat lain, masa sebelum abad ke 20 adalah masa pra sejarah. Seperti apa keadaan Gayo sebelum abad ke-20, hanya bisa kami ketahui melalui dongeng, kisah dan legenda yang kami sebut kekeberen.
Jadi asal-usul bagaimana keluargaku sampai menetap di Isaq pun, aku hanya tahu dari ‘kekeberen’ yang kudengar dari kakekku.
Ada dua versi tentang asal-usul keluarga kami yang kudengar dari kakekku.
Pertama, kata kakekku kami adalah keturunan Datu Merah Mege, anak bungsu dari Muyang Mersa yang merupakan penguasa Linge (sebagaimana juga banyak diklaim oleh orang Isaq lainnya). Karena merasa iri, oleh abang-abangnya, Datu Merah Mege yang merupakan anak kesayangan Muyang Mersah ini pernah dijatuhkan oleh abang-abangnya ke dalam sebuah goa berbentuk sumur yang sampai hari ini dinamakan Loyang Datu (Gua Datu). Datu merah Mege bisa bertahan hidup karena bantuan seekor anjingnya yang setia.
Dalam kisah Datu merah Mege ini diceritakan kalau sejak Datu Merah Mege menghilang, anjingnya yang setia itu hanya mau diberi makan nasi kerak dan kemudian langsung menghilang setelah kerak nasi itu diberikan. Kerak nasi itu ternyata tidak dimakan sendiri oleh sang Anjing tetapi kerak nasi itu dia antarkan untuk makanan tuannya Datu Merah Mege yang dijatuhkan oleh kakak-kakaknya ke dalam gua.
Perilaku aneh anjing ini membuat Muyang Mersa yang bersedih hati karena kehilangan anak kesayangannya menjadi curiga. Suatu hari, setelah memberi makan kerak nasi, Muyang Mersa yang merasa penasaran dengan perilaku ini mengikuti anjing ini untuk mengetahui kemana kerak nasi itu dibawa sehingga Muyang Mersa pun sampai ke Gua tempat datu Merah Mege dijatuhkan dan menemukan anak kesayangannya tersebut masih hidup.
Tahu kejahatan mereka terbongkar, abang-abang dari Datu Merah Mege yang bermaksud mencelakakannya itu melarikan diri dari Isaq sebelum Muyang Mersa kembali ke rumah. Dalam kisah ini diceritakan kalau di kemudian hari, abang-abang dari Datu Merah Mege ini kemudian menjadi raja di tempat lain. Salah satu dari abang Merah Mege ini konon bernama Merah Silu yang kemudian lebih dikenal dengan nama Malikussaleh, yang merupakan penguasa pertama kerajaan Islam Pasai.
Kemudian, kakekku juga pernah bilang, kami adalah keturunan langsung dari Maulana Ishaq, seorang Mubaligh yang pertama kali membawa Syi’ar Islam ke Tanoh Gayo, yang dari namanyalah nama ISAQ diambil.
Bisa jadi kisah tentang asal-usul keluarga kami seperti yang diceritakan kakekku ini ada kaitannya dengan posisi keluarga kami yang merupakan keluarga Imem (pemimpin agama) dalam stuktur sosial masyarakat Isaq di masa lalu.
Sebagaimana kampung-kampung Gayo di masa lalu, di Isaq, sebuah kampung, selain merupakan sebuah wilayah alias teritori, kampung juga merupakan satu wilayah politik. Di masa lalu, orang yang tinggal di satu kampung yang sama selalu memiliki asal-usul alias nenek moyang yang sama (mirip seperti karakter desa di Bali). Karena berasal dari nenek moyang yang sama inilah, di masa lalu, orang Gayo dilarang keras untuk menikah dengan orang sekampungnya. Pernikahan seperti ini adalah aib besar yang membuat pelaku pernikahan seperti ini diusir dari kampung.
Di Isaq, ada 5 buah kampung, Kute Riem, Kute Robel, Kute Kramil, Kute Dah dan Kute Rayang. Tapi kalau di Isaq kita menyebut KAMPUNG maka yang dimaksud adalah Kute Rayang yang merupakan kampung asalku. Penduduk Isaq percaya kalau kute Rayang adalah kampung pertama yang ada di Isaq, kemudian ketika penduduknya bertambah banyak mereka menyebar dan mendirikan kampung-kampung lain.
Di Gayo, kadang-kadang orang yang tinggal di dua kampung atau lebih, berasal dari nenek moyang yang sama dan dikelompokkan menjadi satu. Kelompok yang tinggal di kampung yang berbeda tapi memiliki nenek moyang yang sama ini disebut dengan istilah belah. Istilah belah ini digunakan untuk menjelaskan pembagian dari suatu benda yang panjang, misalnya batang kayu yang dibagi dari pusatnya (Baca : Sumatran Politics and Poetics: Gayo History, 1900-1989; Bowen 1991)
Yang terjadi di Isaq juga demikian, dari 5 kampung di Isaq terdapat 3 belah yaitu: Belah Imem, Belah Reje dan Belah Ciq. Seperti kukatakan sebelumnya, keluargaku termasuk dalam Belah Imem.
Di masa lalu, dalam pembagian kekuasaan di Isaq, kekuasaan politik dipegang oleh orang dari Belah Reje yang disebut Kepala Akal (salah seorang keturunan kepala akal terakhir pernah menjadi Bupati Aceh Tengah) dengan orang dari belah Ciq sebagai wakilnya. Tapi hukum dipegang dan ditegakkan oleh orang dari Belah Imem yang disebut Imem Ciq. Semua perkara hukum, semua pertentangan antar warga diselesaikan melalui keputusan yang dibuat oleh Imem Ciq.
Imem Ciq terakhir di Isaq adalah muyangku (kakek dari kakekku) yang bernama asli Muhammad Ali tapi di Isaq sendiri beliau lebih dikenal dengan nama Tengku Due Puluh Due.
* Ada dua versi yang kudengar tentang asal usul nama Due Puluh Due (22) yang disandang Muyang-ku ini. Yang pertama mengatakan nama Due Puluh Due itu menunjukkan kalau beliau adalah Imem Ciq keturunan yang ke-22. Versi kedua mengatakan kalau nama Due Puluh Due itu merefer kepada jumlah penjahat, pencuri, perampok, pengacau dan para pelanggar Hukum berat lainnya di dalam teritori Isaq baik yang berasal dari luar atau dari dalam Isaq sendiri yang dibunuh oleh muyangku. Entah mana yang benar dari kedua versi itu.
Muyangku ini cuma punya satu anak yang sekaligus satu-satunya pewaris di garis keluarga muyangku ini. Tapi anak satu-satunya muyangku yang tidak lain adalah Datu Awanku (bapak dari kakekku) ini pun sebenarnya bukanlah anak kandung Muyangku Tengku Due Puluh Due. Datuku ini sebenarnya adalah anak dari abang Muyangku yang kupanggil dengan sebutan Muyang Pedih (Muyang yang asli) yang merupakan Imem Ciq sebelumnya.
Beserta dengan Istrinya (Muyang ananku), Muyang Pedihku meninggal bersama dengan banyak penduduk Isaq lainnya, saat Isaq terserang penyakit kolera. Ketika beliau meninggal, posisinya sebagai Imem Ciq digantikan oleh Muyang Tengku Due Puluh Due. Kisah asal usul keluargaku hanya aku tahu sampai sebatas ini, bagaimana keadaan keluargakun di generasi sebelum kedua muyangku ini lahir, aku tidak pernah tahu.
Saat Muyang Pedih-ku meninggal, datuku masih bayi dan langsung dirawat dan sangat dimanjakan oleh Muyang-ku Tengku Due Puluh Due yang sebenarnya adalah Ama Ucak(Paman)-nya yang tidak pernah punya keturunan langsung.
Semua sistem sosial kemasyarakatan di Isaq sebagai mana kuceritakan di atas, berlangsung dengan tertib sampai masa sebelum kedatangan Belanda.
Ketika Belanda datang, salah seorang keturunan mantan penguasa di Isaq yang disebut kejurun, bekerja sama dengan Belanda. Dia menjual kampung kami kepada Belanda yang kemudian menempatkan dirinya sebagai penguasa seluruh Isaq, baik secara politik maupun Hukum dan menghancurkan semua sistem yang sudah ada sebelumnya.
Sebelum kedatangan Belanda, memang ada beberapa konflik perebutan pengaruh kekuasaan politik antar beberapa belah di kampung kami. Kakekku tidak menjelaskan dengan detail Kejurun ini dari belah mana (dan akupun tidak pernah tertarik untuk menanyakan karena waktu itu aku tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang penting), tapi sepertinya dia adalah keturunan mantan penguasa di Isaq yang kalah bersaing dengan kepala akal dalam perebutan pengaruh politik.
Kejurun inilah yang menyambut kedatangan Marsose ke Isaq dengan tari Seudati sebagaimana terdokumentasi dalam foto yang sempat di-post oleh I Love Gayo.
Sikap Kejurun yang Pro Belanda, yang menekan masyarakat Isaq dengan pajak-pajak berat ini membuat Kejurun berseteru berat dengan kakekku. Dalam perseteruan ini Kejurun melibatkan Belanda sehingga kakekku pun terpaksa melarikan diri ke Takengen dan tinggal menumpang di sebuah keluarga asal Minang, sehingga orang-orang di Takengen menyangka kakekku adalah orang Minang juga (kakekku bisa masuk ke keluarga Minang, karena guru yang mengajari kakekku baca tulis yang dikirim oleh Belanda ke Isaq adalah orang Minang).
Waktu itu, tidak satupun orang Gayo di Takengen yang tahu kalau kakekku adalah pelarian dari Isaq, sebuah kampung yang jauhnya beberapa hari perjalanan melewati Hutan. Situasi seperti ini membuat Belanda yang mencari-cari kakekku juga tidak tahu, kalau kakekku yang menjadi buronan di Isaq itu sebenarnya ada di Takengen, tinggal di tengah-tengah Masyarakat Minang. Kakekku juga sangat terbantu karena pada saat itu, belum ada kewajiban untuk memiliki KTP yang dilengkapi Pas Foto, jadi Belanda tidak yang tidak punya dokumentasi foto kakekku tidak bisa mencocok-cocokkan wajah kakekku dengan wajah yang ada dalam KTP.
Sikap sewenang-wenang Kejurun yang dibekingi oleh Belanda ini terjadi ketika Muyangku Tengku Due puluh Due sudah wafat.
Saat muyangku Tengku Due Puluh Due masih hidup, Belanda tidak pernah bisa masuk sampai ke Isaq dan keluarga kejurun juga tidak bisa berkutik. Pajak yang memberatkan rakyat Isaq seperti yang dikenakan oleh Kejurun dengan dukungan Belanda, tidak pernah ada semasa kekuasaan di Isaq dipegang oleh Kepala Akal dan Muyangku.
Karena Isaq belum bisa dimasuki Belanda inilah, ketika Belang Kejeren diserang Belanda (Kejadian ini banyak diingat orang karena adanya foto pasukan Marsose yang berpose di tengah tumpukan Mayat penduduk Gayo), banyak penduduk Belang Kejeren yang mengungsi ke Isaq. Saat berada di Isaq, rombongan pelarian dari Belang Kejeren ini diterima dengan baik oleh muyangku.
Pada waktu itu, di antara para pengungsi dari Belang Kejeren itu terdapat dua orang puteri Reje dari Rema yang kedua orang tuanya tewas dalam pertempuran melawan Belanda. Kedua puteri Reje Rema ini melarikan diri bersama para pengawal dan rakyatnya yang masih hidup.
Kebetulan waktu itu datu awanku masih lajang alias belum menikah. Melihat di antara para pengungsi itu ada dua puteri dari Blang Kejeren yang telah menjadi yatim piatu. Muyangku kemudian melamarkan salah satu dari dua puteri itu untuk menjadi istri datu awanku yang saat itu masih lajang. Dari kedua puteri itu, yang dilamarkan oleh muyangku untuk menjadi istri datu awanku ini adalah puteri yang lebih muda dan lamaran itupun diterima dengan baik oleh keluarga sang puteri.
Begitulah, kemudian mereka menikah, puteri yang lebih muda inipun kemudian menjadi Datu Ananku (yang cuma bisa aku ingat dalam sosoknya yang sudah sangat tua dan renta) dan tinggal di Isaq sampai akhir hayatnya.
Setelah kedua datuku menikah, sang kakak bersama para pengawalnya melanjutkan pelarian sampai ke Uning, yang letaknya tidak terlalu jauh dari Takengen. Ketika situasi di Belang Kejeren sudah kembali kondusif, mereka kembali ke Rema dan sejak saat itu komunikasi antara datu ananku dan kakaknya serta semua anggota keluarganya di Rema terputus.
Saat sudah dewasa, kakekku pernah ingin ke berkunjung ke Belang Kejeren untuk menelusuri jejak keluarga kami di sana. Tapi niat kakekku ini selalu dihalangi oleh Datu Ananku “enti Win, i amat ni pakea kase ko iso, gere i osah pakea kase ko ulak kuini”, yang artinya “jangan nak, nanti kamu ditahan oleh mereka di sana dan tidak diperbolehkan lagi kembali ke sini”, begitu selalu kata Datu Ananku, setiap kali kakekku ingin pergi berkunjung ke Belang Kejeren. Datu ananku sangat takut kalau kakekku yang saat itu terhitung cukup berpendidikan itu sampai berkunjung ke sana. Datu ananku takut nanti kakekku akan dipaksa oleh keluarga datu ananku yang ada di sana untuk tinggal di Rema menggantikan posisi Muyangku yang meninggal saat bertempur dengan Belanda.
Ketika itu wajar Datu Ananku tidak memperbolehkan Kakekku menelusuri jejak keluarga kami di Blang kejeren. Itu karena pada waktu itu, perjalanan ke Belang kejeren tidaklah segampang sekarang. Saat itu untuk pergi ke Blang Kejeren, dibutuhkan perjalanan berhari-hari menembus hutan. Jadi tidak mungkin kalau begitu sampai di sana langsung pamit untuk pulang. Datu Ananku juga takut kakekku tidak pulang karena kedua datuku ini cuma punya dua anak dan kakekku adalah anak laki-laki satu-satunya, sehingga karena menghormati keinginan Datu Ananku, setahuku sampai akhir hayatnya (beliau meninggal dunia tahun 2002) kakekku tidak pernah menginjakkan kaki di Belang Kejeren.
Akibatnya sampai hari ini aku tidak pernah tahu jejak keluargaku di Belang Kejeren.
Tahun 1996, aku bersama teman-teman sekampusku dari Fakultas Teknik Unsyiah, pernah mengadakan acara PBMT (Pekan Bakti Mahasiswa Teknik) di Rema yang tidak lain adalah kampung asal Datu Anan-ku. Sambil mengikuti acara ini, aku menyempatkan diri untuk menelusuri silsilah keluargaku di Kampung itu, tapi dari beberapa orang Tua (seumuran ayahku) yang kuajak bicara, termasuk bapak Geuchik Rema sendiri, tidak seorangpun yang familiar dengan sejarah Datu Anan-ku ini.
Kembali ke kisah Datu merah Mege dan Maulana Ishaq.
Kemungkinan latar belakang keluarga kami yang merupakan keturunan Imem inilah yang membuat asal-usul keluargaku dikaitkan kepada sosok Maulana Ishaq yang kata kakekku adalah Mubaligh yang pertama kali membawa Syi’ar Islam ke tanoh Gayo.
Cuma masalahnya, ketika menceritakan asal-usul keluargaku ini. Ketika skala waktunya sudah di atas abad ke- 20, cara kakekku bercerita sudah sebagaimana layaknya orang yang menceritakan kekeberen. Cerita kakekku bukan lagi berdasarkan fakta yang beliau alami sendiri, tapi sudah bersandar pada kata orang melalui kata orang yang dikisahkan turun-temurun tanpa tercatat.
Dalam bercerita mengenai kisah yang terjadi sebelum abad ke- 20, kakekku tidak pernah bisa memberikan skala waktu yang tepat, contohnya adalah pada cerita tentang silsilah keluarga kami yang kata kakekku merupakan keturunan datu Merah Mege dan juga keturunan langsung Maulana Ishaq.
Dulu saat kakekku masih hidup, aku tidak pernah menanyakan bagaimana kejanggalan ini bisa terjadi. bagaimana mungkin kami yang katanya merupakan keturunan Datu Merah Mege tapi juga sekaligus adalah keturunan langsung Maulana Ishaq (Ini janggal karena di Gayo, silsilah keturunan diurutkan secara paterilineal)
Tapi sekarang aku jadi bingung sendiri, bagaimana ceritanya ini. Apakah Maulana Ishaq itu sebenarnya adalah Muyang Mersa, atau apakah Maulana Ishaq itu adalah bapak dari Muyang Mersa, aku tidak pernah tahu.
Tidak adanya skala waktu yang jelas ini membuatku bingung siapa yang lebih dulu ada, datu Merah Mege atau Maulana Ishaq. Karena kalau kita mengamati kisah Datu Merah Mege yang memelihara anjing dan bertahan hidup dengan makanan yang diantarkan oleh anjing, kemungkinan besar ini adalah kisah dari masa sebelum orang Gayo memeluk Islam.
Kalau benar Muyang Mersa adalah Maulana Ishaq dan Merah Silu yang lebih dikenal dengan nama Malikussaleh adalah Merah Silu anaknya Muyang Mersa, maka seharusnya dia sudah memeluk Islam waktu datang ke Pasai.
Masalah lain yang tidak kurang besar dari semua cerita kakekku ini adalah, kakekku dan orang Gayo lainnya sama sekali tidak bisa menunjukkan bukti tertulis atau benda-benda warisan tokoh-tokoh dalam cerita ini untuk dijadikan bukti tentang keberadaan sosok-sosok tersebut dalam sejarah.
Selain kakekku, orang lain juga banyak yang menceritakan kisah ini, tapi biasanya redaksi dan beberapa detail cerita ini berbeda-beda pada setiap pencerita, sehingga kita jadi tidak bisa sepenuhnya yakin dengan kebenaran cerita-cerita itu.
Kisah yang berbeda-beda ini membuat kita tidak bisa memastikan, Muyang Mersa, Datu Merah Mege, Maulana Ishak dan tokoh-tokoh lain hidup sebelum abad ke -20 yang kisah dan kekeberen tentang mereka disampaikan secara turun-temurun ini benar-benar tokoh yang nyata. Jangan-jangan sebenarnya kisah Datu Merah Mege yang mirip dengan kisah Nabi Yusuf ini adalah cerita rakyat dari tradisi pra islam yang telah disesuaikan dengan cerita-cerita dalam kisah para nabi. Untuk pertanyaan-pertanyaan semacam ini, sampai hari ini kita tidak pernah tahu jawaban yang sebenarnya seperti apa.
Mungkin kita perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah tokoh-tokoh dalam cerita ini benar-benar nyata atau cuma rekaan saja.
Hanya masalahnya lagi, karena minimnya data, kita pun sulit menentukan untuk memulai penelitian itu dari mana.

Sekian Semoga Bermamfaat ...

Copy in Win Wan Nur

0 comments:

Post a Comment

jangan lupa komentar