Bagi kami orang Isaq dan juga orang Gayo yang tinggal di tempat lain,
masa sebelum abad ke 20 adalah masa pra sejarah. Seperti apa keadaan
Gayo sebelum abad ke-20, hanya bisa kami ketahui melalui dongeng, kisah
dan legenda yang kami sebut kekeberen.
Jadi asal-usul bagaimana keluargaku sampai menetap di Isaq pun, aku hanya tahu dari ‘kekeberen’ yang kudengar dari kakekku.
Ada dua versi tentang asal-usul keluarga kami yang kudengar dari kakekku.
Pertama, kata kakekku kami adalah keturunan Datu Merah Mege, anak
bungsu dari Muyang Mersa yang merupakan penguasa Linge (sebagaimana juga
banyak diklaim oleh orang Isaq lainnya). Karena merasa iri, oleh
abang-abangnya, Datu Merah Mege yang merupakan anak kesayangan Muyang
Mersah ini pernah dijatuhkan oleh abang-abangnya ke dalam sebuah goa
berbentuk sumur yang sampai hari ini dinamakan Loyang Datu (Gua Datu).
Datu merah Mege bisa bertahan hidup karena bantuan seekor anjingnya yang
setia.
Dalam kisah Datu merah Mege ini diceritakan kalau sejak Datu Merah
Mege menghilang, anjingnya yang setia itu hanya mau diberi makan nasi
kerak dan kemudian langsung menghilang setelah kerak nasi itu diberikan.
Kerak nasi itu ternyata tidak dimakan sendiri oleh sang Anjing tetapi
kerak nasi itu dia antarkan untuk makanan tuannya Datu Merah Mege yang
dijatuhkan oleh kakak-kakaknya ke dalam gua.
Perilaku aneh anjing ini membuat Muyang Mersa yang bersedih hati
karena kehilangan anak kesayangannya menjadi curiga. Suatu hari, setelah
memberi makan kerak nasi, Muyang Mersa yang merasa penasaran dengan
perilaku ini mengikuti anjing ini untuk mengetahui kemana kerak nasi itu
dibawa sehingga Muyang Mersa pun sampai ke Gua tempat datu Merah Mege
dijatuhkan dan menemukan anak kesayangannya tersebut masih hidup.
Tahu kejahatan mereka terbongkar, abang-abang dari Datu Merah Mege
yang bermaksud mencelakakannya itu melarikan diri dari Isaq sebelum
Muyang Mersa kembali ke rumah. Dalam kisah ini diceritakan kalau di
kemudian hari, abang-abang dari Datu Merah Mege ini kemudian menjadi
raja di tempat lain. Salah satu dari abang Merah Mege ini konon bernama
Merah Silu yang kemudian lebih dikenal dengan nama Malikussaleh, yang
merupakan penguasa pertama kerajaan Islam Pasai.
Kemudian, kakekku juga pernah bilang, kami adalah keturunan langsung
dari Maulana Ishaq, seorang Mubaligh yang pertama kali membawa Syi’ar
Islam ke Tanoh Gayo, yang dari namanyalah nama ISAQ diambil.
Bisa jadi kisah tentang asal-usul keluarga kami seperti yang
diceritakan kakekku ini ada kaitannya dengan posisi keluarga kami yang
merupakan keluarga Imem (pemimpin agama) dalam stuktur sosial masyarakat
Isaq di masa lalu.
Sebagaimana kampung-kampung Gayo di masa lalu, di Isaq, sebuah
kampung, selain merupakan sebuah wilayah alias teritori, kampung juga
merupakan satu wilayah politik. Di masa lalu, orang yang tinggal di
satu kampung yang sama selalu memiliki asal-usul alias nenek moyang yang
sama (mirip seperti karakter desa di Bali). Karena berasal dari nenek
moyang yang sama inilah, di masa lalu, orang Gayo dilarang keras untuk
menikah dengan orang sekampungnya. Pernikahan seperti ini adalah aib
besar yang membuat pelaku pernikahan seperti ini diusir dari kampung.
Di Isaq, ada 5 buah kampung, Kute Riem, Kute Robel, Kute Kramil, Kute
Dah dan Kute Rayang. Tapi kalau di Isaq kita menyebut KAMPUNG maka yang
dimaksud adalah Kute Rayang yang merupakan kampung asalku. Penduduk
Isaq percaya kalau kute Rayang adalah kampung pertama yang ada di Isaq,
kemudian ketika penduduknya bertambah banyak mereka menyebar dan
mendirikan kampung-kampung lain.
Di Gayo, kadang-kadang orang yang tinggal di dua kampung atau lebih,
berasal dari nenek moyang yang sama dan dikelompokkan menjadi satu.
Kelompok yang tinggal di kampung yang berbeda tapi memiliki nenek moyang
yang sama ini disebut dengan istilah belah. Istilah belah ini digunakan
untuk menjelaskan pembagian dari suatu benda yang panjang, misalnya
batang kayu yang dibagi dari pusatnya (Baca : Sumatran Politics and
Poetics: Gayo History, 1900-1989; Bowen 1991)
Yang terjadi di Isaq juga demikian, dari 5 kampung di Isaq terdapat 3
belah yaitu: Belah Imem, Belah Reje dan Belah Ciq. Seperti kukatakan
sebelumnya, keluargaku termasuk dalam Belah Imem.
Di masa lalu, dalam pembagian kekuasaan di Isaq, kekuasaan politik
dipegang oleh orang dari Belah Reje yang disebut Kepala Akal (salah
seorang keturunan kepala akal terakhir pernah menjadi Bupati Aceh
Tengah) dengan orang dari belah Ciq sebagai wakilnya. Tapi hukum
dipegang dan ditegakkan oleh orang dari Belah Imem yang disebut Imem
Ciq. Semua perkara hukum, semua pertentangan antar warga diselesaikan
melalui keputusan yang dibuat oleh Imem Ciq.
Imem Ciq terakhir di Isaq adalah muyangku (kakek dari kakekku) yang
bernama asli Muhammad Ali tapi di Isaq sendiri beliau lebih dikenal
dengan nama Tengku Due Puluh Due.
* Ada dua versi yang kudengar tentang asal usul nama Due Puluh Due
(22) yang disandang Muyang-ku ini. Yang pertama mengatakan nama Due
Puluh Due itu menunjukkan kalau beliau adalah Imem Ciq keturunan yang
ke-22. Versi kedua mengatakan kalau nama Due Puluh Due itu merefer
kepada jumlah penjahat, pencuri, perampok, pengacau dan para pelanggar
Hukum berat lainnya di dalam teritori Isaq baik yang berasal dari luar
atau dari dalam Isaq sendiri yang dibunuh oleh muyangku. Entah mana yang
benar dari kedua versi itu.
Muyangku ini cuma punya satu anak yang sekaligus satu-satunya pewaris
di garis keluarga muyangku ini. Tapi anak satu-satunya muyangku yang
tidak lain adalah Datu Awanku (bapak dari kakekku) ini pun sebenarnya
bukanlah anak kandung Muyangku Tengku Due Puluh Due. Datuku ini
sebenarnya adalah anak dari abang Muyangku yang kupanggil dengan sebutan
Muyang Pedih (Muyang yang asli) yang merupakan Imem Ciq sebelumnya.
Beserta dengan Istrinya (Muyang ananku), Muyang Pedihku meninggal
bersama dengan banyak penduduk Isaq lainnya, saat Isaq terserang
penyakit kolera. Ketika beliau meninggal, posisinya sebagai Imem Ciq
digantikan oleh Muyang Tengku Due Puluh Due. Kisah asal usul keluargaku
hanya aku tahu sampai sebatas ini, bagaimana keadaan keluargakun di
generasi sebelum kedua muyangku ini lahir, aku tidak pernah tahu.
Saat Muyang Pedih-ku meninggal, datuku masih bayi dan langsung
dirawat dan sangat dimanjakan oleh Muyang-ku Tengku Due Puluh Due yang
sebenarnya adalah Ama Ucak(Paman)-nya yang tidak pernah punya keturunan
langsung.
Semua sistem sosial kemasyarakatan di Isaq sebagai mana kuceritakan
di atas, berlangsung dengan tertib sampai masa sebelum kedatangan
Belanda.
Ketika Belanda datang, salah seorang keturunan mantan penguasa di
Isaq yang disebut kejurun, bekerja sama dengan Belanda. Dia menjual
kampung kami kepada Belanda yang kemudian menempatkan dirinya sebagai
penguasa seluruh Isaq, baik secara politik maupun Hukum dan
menghancurkan semua sistem yang sudah ada sebelumnya.
Sebelum kedatangan Belanda, memang ada beberapa konflik perebutan
pengaruh kekuasaan politik antar beberapa belah di kampung kami. Kakekku
tidak menjelaskan dengan detail Kejurun ini dari belah mana (dan akupun
tidak pernah tertarik untuk menanyakan karena waktu itu aku tidak
menganggap hal ini sebagai sesuatu yang penting), tapi sepertinya dia
adalah keturunan mantan penguasa di Isaq yang kalah bersaing dengan
kepala akal dalam perebutan pengaruh politik.
Kejurun inilah yang menyambut kedatangan Marsose ke Isaq dengan tari
Seudati sebagaimana terdokumentasi dalam foto yang sempat di-post oleh I
Love Gayo.
Sikap Kejurun yang Pro Belanda, yang menekan masyarakat Isaq dengan
pajak-pajak berat ini membuat Kejurun berseteru berat dengan kakekku.
Dalam perseteruan ini Kejurun melibatkan Belanda sehingga kakekku pun
terpaksa melarikan diri ke Takengen dan tinggal menumpang di sebuah
keluarga asal Minang, sehingga orang-orang di Takengen menyangka kakekku
adalah orang Minang juga (kakekku bisa masuk ke keluarga Minang, karena
guru yang mengajari kakekku baca tulis yang dikirim oleh Belanda ke
Isaq adalah orang Minang).
Waktu itu, tidak satupun orang Gayo di Takengen yang tahu kalau
kakekku adalah pelarian dari Isaq, sebuah kampung yang jauhnya beberapa
hari perjalanan melewati Hutan. Situasi seperti ini membuat Belanda yang
mencari-cari kakekku juga tidak tahu, kalau kakekku yang menjadi
buronan di Isaq itu sebenarnya ada di Takengen, tinggal di tengah-tengah
Masyarakat Minang. Kakekku juga sangat terbantu karena pada saat itu,
belum ada kewajiban untuk memiliki KTP yang dilengkapi Pas Foto, jadi
Belanda tidak yang tidak punya dokumentasi foto kakekku tidak bisa
mencocok-cocokkan wajah kakekku dengan wajah yang ada dalam KTP.
Sikap sewenang-wenang Kejurun yang dibekingi oleh Belanda ini terjadi ketika Muyangku Tengku Due puluh Due sudah wafat.
Saat muyangku Tengku Due Puluh Due masih hidup, Belanda tidak pernah
bisa masuk sampai ke Isaq dan keluarga kejurun juga tidak bisa berkutik.
Pajak yang memberatkan rakyat Isaq seperti yang dikenakan oleh Kejurun
dengan dukungan Belanda, tidak pernah ada semasa kekuasaan di Isaq
dipegang oleh Kepala Akal dan Muyangku.
Karena Isaq belum bisa dimasuki Belanda inilah, ketika Belang Kejeren
diserang Belanda (Kejadian ini banyak diingat orang karena adanya foto
pasukan Marsose yang berpose di tengah tumpukan Mayat penduduk Gayo),
banyak penduduk Belang Kejeren yang mengungsi ke Isaq. Saat berada di
Isaq, rombongan pelarian dari Belang Kejeren ini diterima dengan baik
oleh muyangku.
Pada waktu itu, di antara para pengungsi dari Belang Kejeren itu
terdapat dua orang puteri Reje dari Rema yang kedua orang tuanya tewas
dalam pertempuran melawan Belanda. Kedua puteri Reje Rema ini melarikan
diri bersama para pengawal dan rakyatnya yang masih hidup.
Kebetulan waktu itu datu awanku masih lajang alias belum menikah.
Melihat di antara para pengungsi itu ada dua puteri dari Blang Kejeren
yang telah menjadi yatim piatu. Muyangku kemudian melamarkan salah satu
dari dua puteri itu untuk menjadi istri datu awanku yang saat itu masih
lajang. Dari kedua puteri itu, yang dilamarkan oleh muyangku untuk
menjadi istri datu awanku ini adalah puteri yang lebih muda dan lamaran
itupun diterima dengan baik oleh keluarga sang puteri.
Begitulah, kemudian mereka menikah, puteri yang lebih muda inipun
kemudian menjadi Datu Ananku (yang cuma bisa aku ingat dalam sosoknya
yang sudah sangat tua dan renta) dan tinggal di Isaq sampai akhir
hayatnya.
Setelah kedua datuku menikah, sang kakak bersama para pengawalnya
melanjutkan pelarian sampai ke Uning, yang letaknya tidak terlalu jauh
dari Takengen. Ketika situasi di Belang Kejeren sudah kembali kondusif,
mereka kembali ke Rema dan sejak saat itu komunikasi antara datu ananku
dan kakaknya serta semua anggota keluarganya di Rema terputus.
Saat sudah dewasa, kakekku pernah ingin ke berkunjung ke Belang
Kejeren untuk menelusuri jejak keluarga kami di sana. Tapi niat kakekku
ini selalu dihalangi oleh Datu Ananku “enti Win, i amat ni pakea kase ko
iso, gere i osah pakea kase ko ulak kuini”, yang artinya “jangan nak,
nanti kamu ditahan oleh mereka di sana dan tidak diperbolehkan lagi
kembali ke sini”, begitu selalu kata Datu Ananku, setiap kali kakekku
ingin pergi berkunjung ke Belang Kejeren. Datu ananku sangat takut kalau
kakekku yang saat itu terhitung cukup berpendidikan itu sampai
berkunjung ke sana. Datu ananku takut nanti kakekku akan dipaksa oleh
keluarga datu ananku yang ada di sana untuk tinggal di Rema menggantikan
posisi Muyangku yang meninggal saat bertempur dengan Belanda.
Ketika itu wajar Datu Ananku tidak memperbolehkan Kakekku menelusuri
jejak keluarga kami di Blang kejeren. Itu karena pada waktu itu,
perjalanan ke Belang kejeren tidaklah segampang sekarang. Saat itu untuk
pergi ke Blang Kejeren, dibutuhkan perjalanan berhari-hari menembus
hutan. Jadi tidak mungkin kalau begitu sampai di sana langsung pamit
untuk pulang. Datu Ananku juga takut kakekku tidak pulang karena kedua
datuku ini cuma punya dua anak dan kakekku adalah anak laki-laki
satu-satunya, sehingga karena menghormati keinginan Datu Ananku,
setahuku sampai akhir hayatnya (beliau meninggal dunia tahun 2002)
kakekku tidak pernah menginjakkan kaki di Belang Kejeren.
Akibatnya sampai hari ini aku tidak pernah tahu jejak keluargaku di Belang Kejeren.
Tahun 1996, aku bersama teman-teman sekampusku dari Fakultas Teknik
Unsyiah, pernah mengadakan acara PBMT (Pekan Bakti Mahasiswa Teknik) di
Rema yang tidak lain adalah kampung asal Datu Anan-ku. Sambil mengikuti
acara ini, aku menyempatkan diri untuk menelusuri silsilah keluargaku di
Kampung itu, tapi dari beberapa orang Tua (seumuran ayahku) yang kuajak
bicara, termasuk bapak Geuchik Rema sendiri, tidak seorangpun yang
familiar dengan sejarah Datu Anan-ku ini.
Kembali ke kisah Datu merah Mege dan Maulana Ishaq.
Kemungkinan latar belakang keluarga kami yang merupakan keturunan
Imem inilah yang membuat asal-usul keluargaku dikaitkan kepada sosok
Maulana Ishaq yang kata kakekku adalah Mubaligh yang pertama kali
membawa Syi’ar Islam ke tanoh Gayo.
Cuma masalahnya, ketika menceritakan asal-usul keluargaku ini. Ketika
skala waktunya sudah di atas abad ke- 20, cara kakekku bercerita sudah
sebagaimana layaknya orang yang menceritakan kekeberen. Cerita kakekku
bukan lagi berdasarkan fakta yang beliau alami sendiri, tapi sudah
bersandar pada kata orang melalui kata orang yang dikisahkan
turun-temurun tanpa tercatat.
Dalam bercerita mengenai kisah yang terjadi sebelum abad ke- 20,
kakekku tidak pernah bisa memberikan skala waktu yang tepat, contohnya
adalah pada cerita tentang silsilah keluarga kami yang kata kakekku
merupakan keturunan datu Merah Mege dan juga keturunan langsung Maulana
Ishaq.
Dulu saat kakekku masih hidup, aku tidak pernah menanyakan bagaimana
kejanggalan ini bisa terjadi. bagaimana mungkin kami yang katanya
merupakan keturunan Datu Merah Mege tapi juga sekaligus adalah keturunan
langsung Maulana Ishaq (Ini janggal karena di Gayo, silsilah keturunan
diurutkan secara paterilineal)
Tapi sekarang aku jadi bingung sendiri, bagaimana ceritanya ini.
Apakah Maulana Ishaq itu sebenarnya adalah Muyang Mersa, atau apakah
Maulana Ishaq itu adalah bapak dari Muyang Mersa, aku tidak pernah tahu.
Tidak adanya skala waktu yang jelas ini membuatku bingung siapa yang
lebih dulu ada, datu Merah Mege atau Maulana Ishaq. Karena kalau kita
mengamati kisah Datu Merah Mege yang memelihara anjing dan bertahan
hidup dengan makanan yang diantarkan oleh anjing, kemungkinan besar ini
adalah kisah dari masa sebelum orang Gayo memeluk Islam.
Kalau benar Muyang Mersa adalah Maulana Ishaq dan Merah Silu yang
lebih dikenal dengan nama Malikussaleh adalah Merah Silu anaknya Muyang
Mersa, maka seharusnya dia sudah memeluk Islam waktu datang ke Pasai.
Masalah lain yang tidak kurang besar dari semua cerita kakekku ini
adalah, kakekku dan orang Gayo lainnya sama sekali tidak bisa
menunjukkan bukti tertulis atau benda-benda warisan tokoh-tokoh dalam
cerita ini untuk dijadikan bukti tentang keberadaan sosok-sosok tersebut
dalam sejarah.
Selain kakekku, orang lain juga banyak yang menceritakan kisah ini,
tapi biasanya redaksi dan beberapa detail cerita ini berbeda-beda pada
setiap pencerita, sehingga kita jadi tidak bisa sepenuhnya yakin dengan
kebenaran cerita-cerita itu.
Kisah yang berbeda-beda ini membuat kita tidak bisa memastikan,
Muyang Mersa, Datu Merah Mege, Maulana Ishak dan tokoh-tokoh lain hidup
sebelum abad ke -20 yang kisah dan kekeberen tentang mereka disampaikan
secara turun-temurun ini benar-benar tokoh yang nyata. Jangan-jangan
sebenarnya kisah Datu Merah Mege yang mirip dengan kisah Nabi Yusuf ini
adalah cerita rakyat dari tradisi pra islam yang telah disesuaikan
dengan cerita-cerita dalam kisah para nabi. Untuk pertanyaan-pertanyaan
semacam ini, sampai hari ini kita tidak pernah tahu jawaban yang
sebenarnya seperti apa.
Mungkin kita perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
apakah tokoh-tokoh dalam cerita ini benar-benar nyata atau cuma rekaan
saja.
Hanya masalahnya lagi, karena minimnya data, kita pun sulit menentukan untuk memulai penelitian itu dari mana.
Sekian Semoga Bermamfaat ...
Copy in Win Wan Nur
Copy in Win Wan Nur
0 comments:
Post a Comment
jangan lupa komentar